Semula Ayah-Ibu menolak
gagasan Dwiki (bukan nama sebenarnya) untuk menikahiku.Mereka ingin aku tamat
kuliah dulu, meski Dwiki sudah punya posisi mapan di perusahaan swasta.Tapi,
aku pun sudah dirasuki cinta buta. Pada akhirnya Ayah mengizinkan kami ke
penghulu setelah Dwiki menjamin bahwa aku akan tetap kuliah meski sudah punya
anak nanti. Tapi apa yang terjadi? Janji akan kuliah menguap tak berbekas
setelah anak kami lahir, bahkan sebaliknya Dwiki yang mestinya bertanggung
jawab atas hidupku, justru malah ‘menjarah’ harta Ayah dan Ibu...
Aku dibesarkan di tengah
keluarga yang lumayan berkecukupan. Tidak bergelimang harta laiknya miliuner,
namun juga tidak berkekurangan.Panggil saja aku Melati.Aku anak sulung dengan
seorang adik perempuan.Jadi kekayaan orang tua dari usaha bisnis mereka ya
hanya dinikmati hanya untuk kesejahteraan kami berempat, dan secara rutin
menyantuni anak-anak yatim serta para janda miskin yang memang sewajibnya
ditolong.
Aku punya seorang adik
saja, Kemala, bukan nama sebenarnya. Karena hanya punya seorang saudara,
hubunganku dengan Kemala jadi begitu dekat.Ikatan batin kami pun sangat erat.
Kompak, kata orang, lalu menggambarkan hubunganku dengan Kemala seperti sepucuk
surat dengan perangko. Kemana-mana selalu menempel!
Tak terasa, tiba masanya
aku masuk perguruan tinggi.Ayah-Ibu tak mengizinkan anak-anaknya tinggal
berjauhan, karenanya aku pun mendaftarkan ke universitas di Kota Y.
Bila anak remaja seusiaku
pasti gerah terlalu diprotek, tapi anehnya, aku merasa senang saja.Sama sekali
tidak terpaksa diperlakukan orang tua seperti aku ini anak baru besar, yang
tidak bisa mengurus atau menjaga diri.Diam-diam aku justru bersyukur dilahirkan
di dalam keluarga dengan orang tua yang begitu peduli dan memperhatikan
keberadaanku dan Kemala.Aku tahu mereka bersikap demikian atas dasar sayang
pada kami, anak-anaknya.
BERTEMU D YANG MENGUBAH
JALAN HIDUPKU
Begitulah hari-hari
kulalui dalam keceriaan, kasih sayang, dan tak pernah ketakutan soal
uang.Ayah-Ibu memenuhi segala keperluanku dengan sangat baik.
Tapi tak ada yang abadi di
dunia ini.Selalu ada awal yang menentukan perjalanan hidup ke arah yang
terkadang tak mampu kita pahami.Inilah yang disebut orang dengan titik
balik.Momen yang mestinya kita hadapi dengan ekstra hati-hati agar tidak salah
langkah.Dan itu terjadi tatkala aku berkenalan dengan Dwiki di suatu acara
kampus yang disponsori oleh suatu produk ternama.Dari perkenalan itu kami jadi
sering kontak, dan benih-benih cinta pun tumbuh bersemi.
Singkat cerita, Dwiki
resmi menjadi pacarku, dan aku pun berani membawanya ke keluargaku.Tanggapan
Ayah dan Ibu kepadanya cukup positif, begitupun Kemala, adikku.Pendek kata,
pintu rumah kami terbuka untuknya.
Dwiki adalah cinta pertamaku.Masa-masa
pacaran dengannya kurasakan sebagai hari-hari yang paling indah dalam
hidupku.Dia tinggal dan bekerja di Kota J, tapi semenjak resmi berpacaran, dia
jadi rajin mengunjungiku seminggu sekali di tempat kosku. Terkadang dia naik
kereta api, namun lebih sering menyetir mobil sendiri. Teman-temanku di tempat
kos kerapkali mengungkapkan rasa iri mereka kepadaku. Kata mereka, aku
bersyukur, sudahlah punya orang tua berada, kini pacar pun sudah bekerja dan
mapan.Sementara pacar teman-temanku rata-rata masih kuliah.
Kebahagiaanku semakin
lengkap tatkala Dwiki mengatakan ingin segera menikahiku.Tapi aku baru duduk di
semester 5, tentu saja orang tuaku tak setuju dengan niatnya itu, dan ingin aku
menyelesaikan kuliahku dulu.
Namun Dwiki meyakinkan
Ayah bahwa meskipun sudah menikah, dia tetap mendukung dan mendorongku sampai
bisa meraih gelar sarjana.Dan aku pun tak kalah terus merayu Ayah.
Berbekal janji yang
diucapkan Dwiki, orang tuaku pun menggelar menerima pinangannya, dan menggelar
pesta pernikahan selama 3 hari 3 malam untuk kami berdua.Saat itu kurasakan
sebagai puncak kebahagiaan dalam hidupku.Selama 3 hari 3 malam itu juga rumahku
ramai dikunjungi keluarga besar dan sanak saudara yang datang menginap.Aku dan
Dwiki diperlakukan layaknya Raja dan Ratu.
KELUARGA MERTUA
YANG ‘BARBAR’
Usai pesta pernikahan, aku
sempat diajak Dwiki menginap di rumah orang tuanya di Kota J. Kami cuma satu
minggu di sana, karena aku harus kembali ke kota Y untuk melanjutkan kuliah.
Selama 4 bulan pertama pernikahan, kami menjalaninya dengan hubungan jarak jauh.Setiap
akhir pekan kami saling mengunjungi. Terkadang Dwiki yang mendatangiku, namun
tak jarang aku yang datang menemuinya ke kota J.
Sampai suatu hari tepat di
bulan keempat pernikahan kami, mobil yang Dwiki kemudikan mengalami sebuah
kecelakaan hebat di Kota J. Bersyukur, kami selamat, meski aku mengalami luka
amat parah di daerah dahiku.
Tahu-tahu aku dibawa ke
rumah sakit dan dokter di sana menangani lukaku. Pasti lukaku parah, batinku
demikian. Meski di bawah pengaruh obat bius, aku masih dapat mendengar beberapa
perawat yang membantu dokter bedah yang menjahit kulit dahiku itu mengutarakan
keprihatinannya akan lukaku.
“Wah, untung saja ya
pasien ini sudah menikah. Kalau belum ...,” kata mereka waktu itu.
Aku hanya bisa pasrah
terhadap keadaan. Tak terbayang seperti apa wajahku nantinya. Pikirku, yang
penting aku mendapat perawatan intensif dulu agar luka yang menganga di dahiku
itu dapat tertangani.Aku terpaksa tinggal lebih lama di Kota J, menunggu
sembuh.Aku mengajukan izin untuk cuti kuliah.Dan selama masa-masa itu aku
tinggal di rumah orang tua D.
Setelah beberapa lama
tinggal di sana, aku baru menyadari seperti apa keluarga Dwiki yang sebenarnya.
Mereka sungguh berbeda dengan keluargaku.Di sini semua orang terlalu bebas
mengumbar emosi dan kemarahan.Setiap hari adik-adik Dwiki selalu bertengkar,
bahkan berani melawan orang tua.
Ibu mertuaku juga rupanya,
maaf, setali tiga uang.Beliau tidak segan-segan melemparkan kata-kata kasar
jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya.Setiap hari rumah selalu ribut,
jauh dari gambaran keluarga sakinah seperti yang selama ini kubayangkan.
Terus terang aku sangat
syok melihat keadaan ini. Aku tidak terbiasa dengan gaya bicara yang kasar dan
kurang ajar. Ayah dan Ibu selalu mengajarkan kami untuk bersikap hormat dan
menghargai orang tua. Terkadang timbul rasa kasihan melihat orang tua Dwiki
yang acapkali mendapat perlakuan kasar dan ucapan yang tidak semestinya dari
anak-anaknya. Tapi tak jarang pula aku terpaksa mengurut dada, karena ibu
mertuaku juga bersikap sama. Ia tidak memberi contoh yang baik kepada
anak-anaknya.Ada hal kecil saja yang tidak berkenan di hatinya, emosinya
langsung tersulut dan meledak-ledak dan siapa pun di rumah itu kena
damparatnya.
Istri dari kakak iparku
yang dulu sempat kumpul, tinggal di rumah itu menyarankanku untuk mengontrak
rumah saja. Dia cerita ketika anaknya menginjak usia 2 tahun, kakak iparku
mulai melihat ada sesuatu yang aneh pada putrinya. Meski usianya baru balita
awal, ia sudah sering berteriak-teriak marah jika ada sesuatu yang tidak
berkenan di hatinya.
Pasti dia melihat dan
mendengar apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa di rumah itu. Nenek
maupun tante-tantenya bersikap barbar, lalu menirunya.Ia tidak ingin anak
mereka terkontaminasi lebih jauh akibat pengaruh-pengaruh buruk di rumah itu,
lalu memutuskan mengontrak rumah.
Ketika kuutarakan
keinginanku untuk pindah rumah kepada Dwiki, ia baru mengatakan kalau gajinya
belum cukup memadai untuk memenuhinya.
Alhasil, orang tuaku juga
yang kemudian mengontrakkan sebuah rumah untuk kami berdua di Kota J. Dan tidak
sampai di situ.Selanjutnya orang tuaku seringkali mengirimkan uang kepada kami
untuk berbagai keperluan yang kami butuhkan.
Gaji Dwiki ternyata sangat
kecil dan aku merasa tertipu dengan gaya perlentenya di masa kami pacaran dulu.
Namun sampai di tahap ini, cintaku untuknya masih tetap utuh.Tidak berkurang
sedikit pun.
DWIKI PAKSA AKU MINTA AYAH
BELIKAN RUMAH
Kemudian, aku melahirkan
anak pertamaku. Dan selanjutnya bisa ditebak, bahwa janji Dwiki bahwa aku akan
tetap kuliah mesti menikah dan punya anak, tinggal janji kosong.
Aku yakin Ayah
sesungguhnya sedih dan kecewa dengan kondisiku. Tapi ia berjiwa besar. Dan aku
sungguh terharu melihat Ayah yang akhirnya mengatakan bahwa beliau sudah tidak
lagi menuntutku untuk menyelesaikan kuliah.
“Sudahlah, Ayah juga paham
dengan kondisimu sekarang. Kuliah nanti bisa kamu lakukan bila keadaannya sudah
memungkinkan.Hanya Ayah berharap agar kamu dan Dwiki saling mendukung dan
berhasil membentuk keluarga sakinah,” kata Ayah, yang membuatku tersedu.
Dulu ketika masih baru
menikah, ayahku pernah mengutarakan niatnya untuk membelikan sebuah rumah untuk
kami di Kota J. Namun Dwiki mengatakan bahwa dia tidak ingin merepotkan orang
tuaku.Ketika itu aku sungguh kagum dan merasa bangga padanya.
Tak disangka, ternyata
setelah setahun mengontrak, tiba-tiba Dwiki mengingatkanku tentang apa yang
pernah diutarakan Ayah dulu itu. Dia yang balik memintaku menanyakan kepada
Ayah apakah beliau masih berniat untuk membelikan kami rumah.
Dug! Sungguh aku merasa
malu dan tidak enak hati untuk menanyakan hal itu kepada Ayahku sendiri.Meski
kami dekat, tapi aku tak pernah meminta, apalagi merongrongnya.
Namun mata hatiku seperti
tertutup oleh cintaku kepada Dwiki, hingga akhirnya Ayah membelikan sebuah
rumah untuk kami berdua.Tidak sampai di situ.Dwiki masih saja menyuruhku untuk
terus meminta uang kepada orang tuaku.
Aku heran dia tidak merasa
malu atau sungkan barang sedikitpun.Memang uang itu digunakan untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga kami, tapi tetap saja aku merasa begitu bersalah kepada
kedua orang tuaku.
Dan puncaknya adalah
ketika perusahaan tempat Dwiki bekerja gulung tikar.Aku resmi menjadi istri
seorang pengangguran.Akhirnya orangtuaku memberi kami modal untuk berjualan
pulsa telepon.
Karena kami tinggal di
perumahan yang masih baru dan belum ada saingan, maka usaha pulsa kami berjalan
dengan begitu lancar.Kami bahkan mulai merembet menjual berbagai macam
keperluan rumah tangga.Bersamaan dengan itu, Dwiki diajak seorang kerabat
bekerja sebagai teknisi AC. Pendapatannya membuat kondisi keuangan kami mulai
stabil.
Namun itu hanya sementara,
karena Dwiki mulai sering mengeluh dengan beratnya pekerjaan yang harus
dijalaninya.Dia terbiasa bekerja kantoran di belakang meja.Menurutnya, dia
tidak sanggup kalau harus menjalani pekerjaan kasar seperti yang dijalaninya
sekarang.
Bersamaan dengan itu,
perumahan tempat tinggal kami mulai ramai.Tidak sedikit tetangga yang mencoba
peruntungannya dengan membuka warung kelontong atau counter pulsa sepertiku.Alhasil warungku mulai
sepi.Hanya ada segelintir orang yang datang membeli.
Seperti tidak memahami
kondisi dalam rumah tangganya, Dwiki tetap putuskan berhenti bekerja sebagai
teknisi AC. Kondisi keuangan kami semakin morat marit.Dwiki jadi kehilangan
akal sehat.Tanpa malu dia mau menjual rumah kami.Dia tidak berpikir rumah ini
siapa yang membeli.
Karena tidak ingin
bertengkar, aku hanya diam sambil terus berdoa supaya tidak ada yang mau
membeli rumahku.Tanpa kusadari, rasa cintaku padanya mulai terkikis.Hubungan intim
pun mulai membuatku tersiksa, karena tidak lagi dilandasi cinta.Di tengah semua
kondisi yang membuatku stres itu aku melahirkan anakku yang kedua.
DWIKI MEMFITNAHKU
Mengetahui Dwiki berniat
menjual rumah, orang tuaku tidak marah. Bahkan mereka membeli sebuah rumah lagi
di kota P, kota kelahiranku dan juga kedua orang tuaku. Dwiki sudah tidak punya
pekerjaan. Ayah-Ibu meminta kami tinggal di kota P supaya mereka bisa lebih
dekat dengan cucu. Toh rumah juga sudah ada.
“Sudahlah, Melati. Juallah
rumah itu, lalu uangnya kalian gunakan untuk memulai usaha baru di Kota P,”
kata Ayah padaku lewat telepon.
Aku sungguh bahagia
mendengarnya, dan langsung punya semangat dan rencana baru.Namun Dwiki
lagi-lagi menghancurkan semuanya. Dia mau pindah ke Kota P tapi dengan syarat,
uang hasil penjualan rumah itu akan digunakannya untuk membeli mobil. Tentu
orang tuaku tidak mengizinkan, karena uang itu lebih baik digunakan untuk buka
usaha baru nantinya.
Dwiki bersikeras, tidak
mau pindah ke kota P. Dia justru mengontrak rumah dan aku terpaksa
mengikutinya, meskipun hatiku memberontak. Dwiki seakan tak mau berhenti
menyiksaku, Dia mencoba peruntungannya dengan mengikuti bisnis investasi yang
mengiming-imingkan keuntungan berlipat ganda tanpa bekerja keras.
Tanpa bicara, setengah
dari hasil penjualan rumah kami dimasukkannya ke investasi itu.Lagi-lagi,
karena tidak ingin bertengkar, aku diam saja meskipun hatiku tidak percaya.Mana
ada bisnis dengan keuntungan berlipat ganda tanpa bekerja keras dan usaha?Dan benar
saja. Dwiki tertipu dan uang orang tuaku tertiup angin!
Aku begitu takut
memberitahukan kepada orang tuaku tentang hal ini. Sampai sekarang aku masih
menutupinya, tapi sampai kapan bisa bertahan? Yang membuatku begitu sakit
hati adalah ketika orang tua Dwiki justru menyalahkanku.
“Kamu sih, waktu itu tidak
mau menuruti Dwiki untuk beli mobil. Uangnya kan pasti masih ada sekarang,
meski bentuknya mobil. Dan kalian bisa pindah ke kota P. Jadi, tidak tertipu
seperti sekarang!”
Astaghfirullah. Aku jadi paham
benar, dari mana Dwiki mewarisi sifat-sifat buruknya itu. Dan sekarang, setelah
menyadari uang hasil penjualan rumah mulai menipis, Dwiki mendesakku untuk
menuruti kemauan orang tuaku pindah dan buka usaha di kota P.
Kali ini aku
menolaknya.Aku takut Ayah Ibu tahu uang mereka raib gara-gara Dwiki.Beban ini
sungguh berat untukku.Kasihan orang tuaku.Bila beban begitu berat menekanku,
aku jadi sering melampiaskan kemarahan kepada anak-anakku.Tapi setelah itu aku
pasti menangis hebat, karena merasa bersalah kepada mereka.
Dwiki bukannya membantu
memikirkan cara keluar dari permasalahan ini, tapi dia justru memanfaatkan
penolakanku kalau aku tidak mau pindah ke Kota P. Tahu hal itu, Ayah menanyakan
kebenarannya, dan terpaksa berbohong. Aku tidak berani mengatakan hal yang
sebenarnya kalau Dwiki telah menghilangkan sebagian uang mereka.Alhasil, akulah
yang dicap sebagai anak durhaka karena menentang keinginan orang tua.
Aku sempat ingin
mengakhiri hidupku saja, tak kuat menanggung beban begitu berat yang dibuat
oleh suamiku.Untunglah ada anak-anakku yang mampu menyadarkanku. Kalau tidak
ada mereka, mungkin sekarang aku sudah tinggal nama. Anak-anakku ini masih
membutuhkanku.
KUCOBA BANGKIT SENDIRI
Sekarang aku sedang
berusaha bangkit demi mereka. Karena tidak punya ijazah sarjana, aku coba
melakukan apa saja yang kumampu. Belajar membuat kue dan menjualnya, lalu mulai
menggeluti hobi lamaku, menulis.Sesuatu yang tidak pernah lagi kulakukan
semenjak aku menikah dengan Dwiki.Pernikahanku ini memang jauh dari bahagia,
tapi aku coba melakukan perbaikan, mulai dari diriku sendiri.
Aku mendekatkan diriku
kepada-Nya, mulai memperbanyak sholat malam dan berpuasa sunah.Sesuatu yang
dulu biasa kulakukan semasa masih bersama orang tuaku.Setelah menikah, aku
memang seperti kehilangan pegangan keimanan, karena Dwiki ternyata tidak bisa
kujadikan imam dalam rumah tangga.
Aku seperti tersadar,
bahwa musibah-musibah yang menimpaku bisa jadi karena sebenarnya Allah ingin
menegurku.Karena DIA masih begitu sayang kepadaku.Aku juga mulai rajin
mendengarkan kembali berbagai tausiah, dan dari tausiah-tausiah tersebut Allah
seperti menuntunku untuk memantapkan hati menjadi seorang istri solehah yang
ikhlas dan penuh ketulusan.
Kalau kemarin-kemarin aku
tidak sudi menyebut D dalam setiap doaku, kini namanya tak pernah lagi
tertinggal dari doaku.Aku hanya bisa berharap suatu saat nanti aku bisa jujur
kepada orang tuaku tentang uang mereka yang raib dibawa penipu. Dan setelah itu
aku bisa dengan tenang pindah dan tinggal di kota P. Anak-anak bisa bermanja
dengan kakek dan neneknya. Membentuk keluarga besar yang sakinah dan bahagia.
Semoga!
MELATI di J
(Identitas dan alamat
lengkap
ada pada Redaksi)
QUOTE:
Sampai suatu hari tepat di
bulan keempat pernikahan kami, mobil yang Dwiki kemudikan mengalami sebuah
kecelakaan hebat di Kota J. Aku bersyukur, kami masih diberi selamat, meski aku
mengalami luka amat parah di daerah dahiku.
Aku mendekatkan diriku
kepada-Nya, mulai memperbanyak sholat malam dan berpuasa sunah.Aku seperti
tersadar, bahwa musibah-musibah yang menimpaku bisa jadi karena sebenarnya DIA
masih begitu sayang kepadaku.
=============================================
DIAMBIL DARI: FB
MAJALAH KARTINI
=============================================