Berikut ini adalah kisah nyata yang terjadi di kecamatan Garum, Blitar, seorang penghulu mayat atau biasa disebut “modin” yang ikut memakamkan makhluk halus yang meninggal dunia. Cerita mistis ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama yang diposting di koran Jawa Pos terbitan beberapa tahun yang lalu, namun kini saya muat ulang lagi di blog ini dalam bentuk cerita.


Nama saya maksun, umur saya 55 tahun. Saya sudah lebih dari 30 tahun menjabat sebagai modin di desa saya. Setiap ada orang meninggal dunia saya yang menjadi penghulu jenazah atau yang mengkoordinir prosesi pemakaman mulai dari rumah hingga selesai di pemakaman. Kemudian malamnya saya menjadi imam tahlil di rumah duka selama 7 hari. Saya pernah tanpa sengaja menjadi penghulu jenazah di alam jin.
Pada suatu hari ketika selesai melangsungkan acara prosesi pemakaman seorang warga desa yang meninggal, saya pulang terlalu petang. Maklum hari itu ada orang meninggal dunia terlalu sore sehingga pemakaman selesai ketika hari menjelang gelap.
Saya tiba di rumah sekitar pukul 7 malam jum’at dalam keadaan hujan gerimis. Bersamaan dengan itu tiba-tiba ada sebuah mobil sedan warna putih berhenti di depan rumah saya. Lalu keluar dua orang lelaki dengan menggunakan busana muslim dan memakai topi hitam (kopyah) seperti yang saya kenakan. Mereka berlari kecil menghampiri saya dan mengatakan ingin bertamu di rumah saya karena ada satu keperluan mendadak. Lalu saya mempersilakan mereka masuk ke rumah. Bersama saya, mereka masuk dan langsung duduk di ruang tamu.
Kemudian kedua tamu saya ini memperkenalkan diri bahwa mereka adalah warga dari wilayah lain di kota. Lalu mereka menyampaikan suatu keperluannya kepada saya. Ternyata mereka adalah orang yang juga sedang berduka. Salah satu keluarganya meninggal dunia dan mereka meminta bantuan saya untuk menjadi penghulu jenazah untuk mengantarkannya ke pemakaman malam ini.
Saya merasa keberatan untuk memenuhi permintaannya karena di desa mereka tentunya sudah ada petugas modinnya tersendiri. Selain itu, saya juga baru saja pulang dari mengurus acara prosesi pemakaman warga di desa ini. Lalu saya meminta maaf dan mengatakan kalau saya tidak bisa membantu mereka mengingat malam ini saya juga akan menjadi imam tahlil di desa ini, yaitu dirumah keluarga orang yang baru saja meninggal dunia tadi siang.
Namun dua orang ini memohon kepada saya dan mengatakan bahwa modin di desanya sedang berhalangan sehingga tidak ada orang yang menjadi penghulu jenazah. Sementara acara memandikan jenazah serta mengkafani sudah selesai semua, kuburan juga sudah siap. Mereka mengatakan bahwa keluarga mereka sedang menunggu kedatangan saya malam ini juga.
Mendengar permintaan mereka yang sangat penting dan darurat sekali, maka akhirnya saya bersedia memenuhi permintaannya. Sementara tugas saya menjadi imam tahlil di desa ini saya wakilkan kepada orang lain.
Tanpa mandi maupun cuci muka, saya berangkat bersama dua orang tamu ini menuju ke rumah duka dengan mengendarai mobil sedan mewah warna putih. Rupanya rumah mereka jauh sekali, sampai-sampai perjalanan ini keluar dari wilayah kabupaten Blitar. Kemudian melewati hutan lebat yang cukup jauh, lalu masuk ke sebuah kota yang ramai dan saya belum pernah melihat kota itu.
Setelah berputar-putar di kota yang ramai maka tibalah kami bertiga di rumah duka. Rupanya yang meninggal dunia ini adalah orang kaya, karena rumahnya megah dan ada taman bunga cantik di depan rumahnya.
Dan benar apa yang dikatakan oleh dua tamu saya ini, ternyata sudah banyak orang melayat yang berkumpul di rumah duka. Sementara terdengar suara tangisan para anggota keluarga yang meninggal dunia. Jenazah saya periksa sudah selesai dikafani dan sudah berada di dalam keranda mayat. Semua perlengkapan pemakaman juga sudah disiapkan. Dan mereka benar-benar hanya menunggu kedatangan saya sebagai penghulu jenazah.
Akhirnya langsung saja seperti biasanya, saya menyampaikan pidato mewakili atas nama keluarga yang berduka menyampaikan terima kasih kepada para pelawat yang ikut berbelasungkawa. Setelah selesai, jenazah langsung diberangkatkan malam itu juga dan kami beramai-ramai berjalan menuju ke pemakaman umum di desa itu.
Tidak lama rombongan jenasah tiba di pemakaman umum yang ternyata tidak jauh dari rumah duka. Liang kubur sudah di persiapkan sejak tadi dan keranda jenazah langsung diletakkan disamping liang kubur.
Seperti biasa, saya langsung masuk ke liang kubur untuk mengumandangkan adzan. Dari sini mulai timbul keanehan. Ketika saya mengumandangkan suara adzan, tiba-tiba orang-orang yang melayat terlihat seperti orang kebingungan. Lalu mereka menjauh satu persatu. Semakin kencang suara adzan, mereka semakin menjauh dan pergi. Setelah adzan selesai, tidak ada orang sama sekali. Semua pelayat dan juga keluarga yang berduka pergi entah kemana.
Akhirnya saya bingung bagaimana cara mengangkat mayat ke liang kubur seorang diri, dan lalu menimbunnya dengan tanah. Mana bisa? Sementara menguburkan mayat sampai selesai adalah wajib bagi seorang muslim. Namun tidak masalah biarpun para pelayat pergi semua dan tidak ada seorangpun yang membantu.. Saya bisa menyelesaikannya sendiri pelan-pelan.
Namun ada kejadian aneh yang mencengangkan saya ketika saya mencoba membuka tali keranda mayat. Ternyata keranda mayat yang tadinya diletakkan disamping saya di dekat liang kubur itu hanyalah tumpukan pohon singkong yang diikat dengan tali. Dan tali keranda yang saya buka tersebut ternyata tali rafia yang digunakan untuk mengikat bentelan kayu singkong.
Kemudian saya tengak-tengok ke sekeliling, dan saya melihat ada pohon-pohon singkong sangat banyak dan lebat berdiri di sekeliling saya. Betapa terkejutnya saya. Ternyata saya sedang berada di tengah-tengah ladang singkong sendirian malam hari.
Saya langsung tersadar bahwa ternyata orang yang hendak saya makamkan tadi adalah makhluk halus. Dan orang-orang menjadi pelayat itu ternyata semuanya juga makhluk halus. Rupanya saya telah dikerjai oleh sekelompok makhluk halus. Saya ternyata telah mengumandangkan adzan sendirian di tengah-tengah ladang singkong. Dan ketika saya berpidato di depan rumah duka tadi ternyata saya hanya berpidato kepada pohon singkong.
Seketika itu bulu kuduk saya berdiri tegak. Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung kabur ambil langkah seribu sekencangnya agar bisa keluar dari kebun singkong sialan itu.
Akhirnya dengan terjatuh-jatuh dan menabrak-nabrak semak belukar, saya berhasil keluar dari ladang singkong dan tiba di sebuah kampung. Ternyata kampung itu adalah tetangga desa saya. Dan ketika saya naik mobil sedan putih tadi ternyata saya hanya berjalan kaki saja ke desa sebelah. Untungnya kini malam sudah larut tengah malam, sehingga tidak ada seorangpun yang melihat saya kesasar di kebun singkong malam-malam sendirian.
Secepatnya saya pulang menuju rumah. Sesampai dirumah saya terbengong dan tak habis pikir, seakan saya tidak percaya kalau saya baru saja menghadiri acara pemakaman orang mati di alam jin. Lalu mengapa para jin itu mengerjai saya? Sudah tahu ada orang capek-capek pulang kemalaman dari acara pemakaman, masih dikerjai lagi oleh makhluk jin. Dasar hantu kurang ajar!
Besoknya saya langsung pergi ke kantor desa dan meminta pengunduran diri sebagai modin.

=============================================
DIAMBIL DARI: JURAGANCIPIR BLOG
DITERUSKAN OLEH: ohmama-ohpapa.blogspot.com
=============================================


Semula Ayah-Ibu menolak gagasan Dwiki (bukan nama sebenarnya) untuk menikahiku.Mereka ingin aku tamat kuliah dulu, meski Dwiki sudah punya posisi mapan di perusahaan swasta.Tapi, aku pun sudah dirasuki cinta buta. Pada akhirnya Ayah mengizinkan kami ke penghulu setelah Dwiki menjamin bahwa aku akan tetap kuliah meski sudah punya anak nanti. Tapi apa yang terjadi? Janji akan kuliah menguap tak berbekas setelah anak kami lahir, bahkan sebaliknya Dwiki yang mestinya bertanggung jawab atas hidupku, justru malah ‘menjarah’ harta Ayah dan Ibu...



Aku dibesarkan di tengah keluarga yang lumayan berkecukupan. Tidak bergelimang harta laiknya miliuner, namun juga tidak berkekurangan.Panggil saja aku Melati.Aku anak sulung dengan seorang adik perempuan.Jadi kekayaan orang tua dari usaha bisnis mereka ya hanya dinikmati hanya untuk kesejahteraan kami berempat, dan secara rutin menyantuni anak-anak yatim serta para janda miskin yang memang sewajibnya ditolong.
Aku punya seorang adik saja, Kemala, bukan nama sebenarnya. Karena hanya punya seorang saudara, hubunganku dengan Kemala jadi begitu dekat.Ikatan batin kami pun sangat erat. Kompak, kata orang, lalu menggambarkan hubunganku dengan Kemala seperti sepucuk surat dengan perangko. Kemana-mana selalu menempel!

Tak terasa, tiba masanya aku masuk perguruan tinggi.Ayah-Ibu tak mengizinkan anak-anaknya tinggal berjauhan, karenanya aku pun mendaftarkan ke universitas di Kota Y.
Bila anak remaja seusiaku pasti gerah terlalu diprotek, tapi anehnya, aku merasa senang saja.Sama sekali tidak terpaksa diperlakukan orang tua seperti aku ini anak baru besar, yang tidak bisa mengurus atau menjaga diri.Diam-diam aku justru bersyukur dilahirkan di dalam keluarga dengan orang tua yang begitu peduli dan memperhatikan keberadaanku dan Kemala.Aku tahu mereka bersikap demikian atas dasar sayang pada kami, anak-anaknya.


BERTEMU D YANG MENGUBAH JALAN HIDUPKU

Begitulah hari-hari kulalui dalam keceriaan, kasih sayang, dan tak pernah ketakutan soal uang.Ayah-Ibu memenuhi segala keperluanku dengan sangat baik.
Tapi tak ada yang abadi di dunia ini.Selalu ada awal yang menentukan perjalanan hidup ke arah yang terkadang tak mampu kita pahami.Inilah yang disebut orang dengan titik balik.Momen yang mestinya kita hadapi dengan ekstra hati-hati agar tidak salah langkah.Dan itu terjadi tatkala aku berkenalan dengan Dwiki di suatu acara kampus yang disponsori oleh suatu produk ternama.Dari perkenalan itu kami jadi sering kontak, dan benih-benih cinta pun tumbuh bersemi.

Singkat cerita, Dwiki resmi menjadi pacarku, dan aku pun berani membawanya ke keluargaku.Tanggapan Ayah dan Ibu kepadanya cukup positif, begitupun Kemala, adikku.Pendek kata, pintu rumah kami terbuka untuknya.
Dwiki adalah cinta pertamaku.Masa-masa pacaran dengannya kurasakan sebagai hari-hari yang paling indah dalam hidupku.Dia tinggal dan bekerja di Kota J, tapi semenjak resmi berpacaran, dia jadi rajin mengunjungiku seminggu sekali di tempat kosku. Terkadang dia naik kereta api, namun lebih sering menyetir mobil sendiri. Teman-temanku di tempat kos kerapkali mengungkapkan rasa iri mereka kepadaku. Kata mereka, aku bersyukur, sudahlah punya orang tua berada, kini pacar pun sudah bekerja dan mapan.Sementara pacar teman-temanku rata-rata masih kuliah.

Kebahagiaanku semakin lengkap tatkala Dwiki mengatakan ingin segera menikahiku.Tapi aku baru duduk di semester 5, tentu saja orang tuaku tak setuju dengan niatnya itu, dan ingin aku menyelesaikan kuliahku dulu.
Namun Dwiki meyakinkan Ayah bahwa meskipun sudah menikah, dia tetap mendukung dan mendorongku sampai bisa meraih gelar sarjana.Dan aku pun tak kalah terus merayu Ayah.

Berbekal janji yang diucapkan Dwiki, orang tuaku pun menggelar menerima pinangannya, dan menggelar pesta pernikahan selama 3 hari 3 malam untuk kami berdua.Saat itu kurasakan sebagai puncak kebahagiaan dalam hidupku.Selama 3 hari 3 malam itu juga rumahku ramai dikunjungi keluarga besar dan sanak saudara yang datang menginap.Aku dan Dwiki diperlakukan layaknya Raja dan Ratu.

KELUARGA MERTUA
YANG ‘BARBAR’

Usai pesta pernikahan, aku sempat diajak Dwiki menginap di rumah orang tuanya di Kota J. Kami cuma satu minggu di sana, karena aku harus kembali ke kota Y untuk melanjutkan kuliah. Selama 4 bulan pertama pernikahan, kami menjalaninya dengan hubungan jarak jauh.Setiap akhir pekan kami saling mengunjungi. Terkadang Dwiki yang mendatangiku, namun tak jarang aku yang datang menemuinya ke kota J.
Sampai suatu hari tepat di bulan keempat pernikahan kami, mobil yang Dwiki kemudikan mengalami sebuah kecelakaan hebat di Kota J. Bersyukur, kami selamat, meski aku mengalami luka amat parah di daerah dahiku.
Tahu-tahu aku dibawa ke rumah sakit dan dokter di sana menangani lukaku. Pasti lukaku parah, batinku demikian. Meski di bawah pengaruh obat bius, aku masih dapat mendengar beberapa perawat yang membantu dokter bedah yang menjahit kulit dahiku itu mengutarakan keprihatinannya akan lukaku.
“Wah, untung saja ya pasien ini sudah menikah. Kalau belum ...,” kata mereka waktu itu.

Aku hanya bisa pasrah terhadap keadaan. Tak terbayang seperti apa wajahku nantinya. Pikirku, yang penting aku mendapat perawatan intensif dulu agar luka yang menganga di dahiku itu dapat tertangani.Aku terpaksa tinggal lebih lama di Kota J, menunggu sembuh.Aku mengajukan izin untuk cuti kuliah.Dan selama masa-masa itu aku tinggal di rumah orang tua D.

Setelah beberapa lama tinggal di sana, aku baru menyadari seperti apa keluarga Dwiki yang sebenarnya. Mereka sungguh berbeda dengan keluargaku.Di sini semua orang terlalu bebas mengumbar emosi dan kemarahan.Setiap hari adik-adik Dwiki selalu bertengkar, bahkan berani melawan orang tua.
Ibu mertuaku juga rupanya, maaf, setali tiga uang.Beliau tidak segan-segan melemparkan kata-kata kasar jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya.Setiap hari rumah selalu ribut, jauh dari gambaran keluarga sakinah seperti yang selama ini kubayangkan.

Terus terang aku sangat syok melihat keadaan ini. Aku tidak terbiasa dengan gaya bicara yang kasar dan kurang ajar. Ayah dan Ibu selalu mengajarkan kami untuk bersikap hormat dan menghargai orang tua. Terkadang timbul rasa kasihan melihat orang tua Dwiki yang acapkali mendapat perlakuan kasar dan ucapan yang tidak semestinya dari anak-anaknya. Tapi tak jarang pula aku terpaksa mengurut dada, karena ibu mertuaku juga bersikap sama. Ia tidak memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya.Ada hal kecil saja yang tidak berkenan di hatinya, emosinya langsung tersulut dan meledak-ledak dan siapa pun di rumah itu kena damparatnya.
Istri dari kakak iparku yang dulu sempat kumpul, tinggal di rumah itu menyarankanku untuk mengontrak rumah saja. Dia cerita ketika anaknya menginjak usia 2 tahun, kakak iparku mulai melihat ada sesuatu yang aneh pada putrinya. Meski usianya baru balita awal, ia sudah sering berteriak-teriak marah jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya.

Pasti dia melihat dan mendengar apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa di rumah itu. Nenek maupun tante-tantenya bersikap barbar, lalu menirunya.Ia tidak ingin anak mereka terkontaminasi lebih jauh akibat pengaruh-pengaruh buruk di rumah itu, lalu memutuskan mengontrak rumah.
Ketika kuutarakan keinginanku untuk pindah rumah kepada Dwiki, ia baru mengatakan kalau gajinya belum cukup memadai untuk memenuhinya.

Alhasil, orang tuaku juga yang kemudian mengontrakkan sebuah rumah untuk kami berdua di Kota J. Dan tidak sampai di situ.Selanjutnya orang tuaku seringkali mengirimkan uang kepada kami untuk berbagai keperluan yang kami butuhkan.

Gaji Dwiki ternyata sangat kecil dan aku merasa tertipu dengan gaya perlentenya di masa kami pacaran dulu. Namun sampai di tahap ini, cintaku untuknya masih tetap utuh.Tidak berkurang sedikit pun.

DWIKI PAKSA AKU MINTA AYAH BELIKAN RUMAH

Kemudian, aku melahirkan anak pertamaku. Dan selanjutnya bisa ditebak, bahwa janji Dwiki bahwa aku akan tetap kuliah mesti menikah dan punya anak, tinggal janji kosong.
Aku yakin Ayah sesungguhnya sedih dan kecewa dengan kondisiku. Tapi ia berjiwa besar. Dan aku sungguh terharu melihat Ayah yang akhirnya mengatakan bahwa beliau sudah tidak lagi menuntutku untuk menyelesaikan kuliah.

“Sudahlah, Ayah juga paham dengan kondisimu sekarang. Kuliah nanti bisa kamu lakukan bila keadaannya sudah memungkinkan.Hanya Ayah berharap agar kamu dan Dwiki saling mendukung dan berhasil membentuk keluarga sakinah,” kata Ayah, yang membuatku tersedu.

Dulu ketika masih baru menikah, ayahku pernah mengutarakan niatnya untuk membelikan sebuah rumah untuk kami di Kota J. Namun Dwiki mengatakan bahwa dia tidak ingin merepotkan orang tuaku.Ketika itu aku sungguh kagum dan merasa bangga padanya.

Tak disangka, ternyata setelah setahun mengontrak, tiba-tiba Dwiki mengingatkanku tentang apa yang pernah diutarakan Ayah dulu itu. Dia yang balik memintaku menanyakan kepada Ayah apakah beliau masih  berniat untuk membelikan kami rumah.

Dug! Sungguh aku merasa malu dan tidak enak hati untuk menanyakan hal itu kepada Ayahku sendiri.Meski kami dekat, tapi aku tak pernah meminta, apalagi merongrongnya.
Namun mata hatiku seperti tertutup oleh cintaku kepada Dwiki, hingga akhirnya Ayah membelikan sebuah rumah untuk kami berdua.Tidak sampai di situ.Dwiki masih saja menyuruhku untuk terus meminta uang kepada orang tuaku.

Aku heran dia tidak merasa malu atau sungkan barang sedikitpun.Memang uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, tapi tetap saja aku merasa begitu bersalah kepada kedua orang tuaku.
Dan puncaknya adalah ketika perusahaan tempat Dwiki bekerja gulung tikar.Aku resmi menjadi istri seorang pengangguran.Akhirnya orangtuaku memberi kami modal untuk berjualan pulsa telepon.
Karena kami tinggal di perumahan yang masih baru dan belum ada saingan, maka usaha pulsa kami berjalan dengan begitu lancar.Kami bahkan mulai merembet menjual berbagai macam keperluan rumah tangga.Bersamaan dengan itu, Dwiki diajak seorang kerabat bekerja sebagai teknisi AC. Pendapatannya membuat kondisi keuangan kami mulai stabil.

Namun itu hanya sementara, karena Dwiki mulai sering mengeluh dengan beratnya pekerjaan yang harus dijalaninya.Dia terbiasa bekerja kantoran di belakang meja.Menurutnya, dia tidak sanggup kalau harus menjalani pekerjaan kasar seperti yang dijalaninya sekarang.

Bersamaan dengan itu, perumahan tempat tinggal kami mulai ramai.Tidak sedikit tetangga yang mencoba peruntungannya dengan membuka warung kelontong atau counter pulsa sepertiku.Alhasil warungku mulai sepi.Hanya ada segelintir orang yang datang membeli.

Seperti tidak memahami kondisi dalam rumah tangganya, Dwiki tetap putuskan berhenti bekerja sebagai teknisi AC. Kondisi keuangan kami semakin morat marit.Dwiki jadi kehilangan akal sehat.Tanpa malu dia mau menjual rumah kami.Dia tidak berpikir rumah ini siapa yang membeli.
Karena tidak ingin bertengkar, aku hanya diam sambil terus berdoa supaya tidak ada yang mau membeli rumahku.Tanpa kusadari, rasa cintaku padanya mulai terkikis.Hubungan intim pun mulai membuatku tersiksa, karena tidak lagi dilandasi cinta.Di tengah semua kondisi yang membuatku stres itu aku melahirkan anakku yang kedua.

DWIKI MEMFITNAHKU

Mengetahui Dwiki berniat menjual rumah, orang tuaku tidak marah. Bahkan mereka membeli sebuah rumah lagi di kota P, kota kelahiranku dan juga kedua orang tuaku. Dwiki sudah tidak punya pekerjaan. Ayah-Ibu meminta kami tinggal di kota P supaya mereka bisa lebih dekat dengan cucu. Toh rumah juga sudah ada.
“Sudahlah, Melati. Juallah rumah itu, lalu uangnya kalian gunakan untuk memulai usaha baru di Kota P,” kata Ayah padaku lewat telepon.

Aku sungguh bahagia mendengarnya, dan langsung punya semangat dan rencana baru.Namun Dwiki lagi-lagi menghancurkan semuanya. Dia mau pindah ke Kota P tapi dengan syarat, uang hasil penjualan rumah itu akan digunakannya untuk membeli mobil. Tentu orang tuaku tidak mengizinkan, karena uang itu lebih baik digunakan untuk buka usaha baru nantinya.

Dwiki bersikeras, tidak mau pindah ke kota P. Dia justru mengontrak rumah dan aku terpaksa mengikutinya, meskipun hatiku memberontak. Dwiki seakan tak mau berhenti menyiksaku, Dia mencoba peruntungannya dengan mengikuti bisnis investasi yang mengiming-imingkan keuntungan berlipat ganda tanpa bekerja keras.
Tanpa bicara, setengah dari hasil penjualan rumah kami dimasukkannya ke investasi itu.Lagi-lagi, karena tidak ingin bertengkar, aku diam saja meskipun hatiku tidak percaya.Mana ada bisnis dengan keuntungan berlipat ganda tanpa bekerja keras dan usaha?Dan benar saja. Dwiki tertipu dan uang orang tuaku tertiup angin!
Aku begitu takut memberitahukan kepada orang tuaku tentang hal ini. Sampai sekarang aku masih menutupinya, tapi  sampai kapan bisa bertahan? Yang membuatku begitu sakit hati adalah ketika orang tua Dwiki justru menyalahkanku.
“Kamu sih, waktu itu tidak mau menuruti Dwiki untuk beli mobil. Uangnya kan pasti masih ada sekarang, meski bentuknya mobil. Dan kalian bisa pindah ke kota P. Jadi, tidak tertipu seperti sekarang!” 
Astaghfirullah. Aku jadi paham benar, dari mana Dwiki mewarisi sifat-sifat buruknya itu. Dan sekarang, setelah menyadari uang hasil penjualan rumah mulai menipis, Dwiki mendesakku untuk menuruti kemauan orang tuaku pindah dan buka usaha di kota P.

Kali ini aku menolaknya.Aku takut Ayah Ibu tahu uang mereka raib gara-gara Dwiki.Beban ini sungguh berat untukku.Kasihan orang tuaku.Bila beban begitu berat menekanku, aku jadi sering melampiaskan kemarahan kepada anak-anakku.Tapi setelah itu aku pasti menangis hebat, karena merasa bersalah kepada mereka.
Dwiki bukannya membantu memikirkan cara keluar dari permasalahan ini, tapi dia justru memanfaatkan penolakanku kalau aku tidak mau pindah ke Kota P. Tahu hal itu, Ayah menanyakan kebenarannya, dan terpaksa berbohong. Aku tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya kalau Dwiki telah menghilangkan sebagian uang mereka.Alhasil, akulah yang dicap sebagai anak durhaka karena menentang keinginan orang tua.

Aku sempat ingin mengakhiri hidupku saja, tak kuat menanggung beban begitu berat yang dibuat oleh suamiku.Untunglah ada anak-anakku yang mampu menyadarkanku. Kalau tidak ada mereka, mungkin sekarang aku sudah tinggal nama. Anak-anakku ini masih membutuhkanku.

KUCOBA BANGKIT SENDIRI

Sekarang aku sedang berusaha bangkit demi mereka. Karena tidak punya ijazah sarjana, aku coba melakukan apa saja yang kumampu. Belajar membuat kue dan menjualnya, lalu mulai menggeluti hobi lamaku, menulis.Sesuatu yang tidak pernah lagi kulakukan semenjak aku menikah dengan Dwiki.Pernikahanku ini memang jauh dari bahagia, tapi aku coba melakukan perbaikan, mulai dari diriku sendiri.

Aku mendekatkan diriku kepada-Nya, mulai memperbanyak sholat malam dan berpuasa sunah.Sesuatu yang dulu biasa kulakukan semasa masih bersama orang tuaku.Setelah menikah, aku memang seperti kehilangan pegangan keimanan, karena Dwiki ternyata tidak bisa kujadikan imam dalam rumah tangga.

Aku seperti tersadar, bahwa musibah-musibah yang menimpaku bisa jadi karena sebenarnya Allah ingin menegurku.Karena DIA masih begitu sayang kepadaku.Aku juga mulai rajin mendengarkan kembali berbagai tausiah, dan dari tausiah-tausiah tersebut Allah seperti menuntunku untuk memantapkan hati menjadi seorang istri solehah yang ikhlas dan penuh ketulusan.

Kalau kemarin-kemarin aku tidak sudi menyebut D dalam setiap doaku, kini namanya tak pernah lagi tertinggal dari doaku.Aku hanya bisa berharap suatu saat nanti aku bisa jujur kepada orang tuaku tentang uang mereka yang raib dibawa penipu. Dan setelah itu aku bisa dengan tenang pindah dan tinggal di kota P. Anak-anak bisa bermanja dengan kakek dan neneknya. Membentuk keluarga besar yang sakinah dan bahagia. Semoga!

MELATI di J
(Identitas dan alamat lengkap
ada pada Redaksi)

QUOTE:
Sampai suatu hari tepat di bulan keempat pernikahan kami, mobil yang Dwiki kemudikan mengalami sebuah kecelakaan hebat di Kota J. Aku bersyukur, kami masih diberi selamat, meski aku mengalami luka amat parah di daerah dahiku.

Aku mendekatkan diriku kepada-Nya, mulai memperbanyak sholat malam dan berpuasa sunah.Aku seperti tersadar, bahwa musibah-musibah yang menimpaku bisa jadi karena sebenarnya DIA masih begitu sayang kepadaku.


=============================================
DIAMBIL DARI: FB MAJALAH KARTINI
DITERUSKAN OLEH: ohmama-ohpapa.blogspot.com
=============================================


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim .. Berikut ini adalah sebuah kisah nyata. Ini adalah pengakuan seorang istri yang menulis pada note di facebooknya tentang dirinya yang terjebak perselingkuhan dan perzinaaan akibat sisi buruk facebook. Semoga kita semua bisa mendapat pelajaran yang berharga dari kisah ini.





"Pernikahanku dengan Rudi (nama samaran) sudah memasuki sepuluh tahun. Sampai saat itu hubunganku dengan Rudi sangat harmonis. Ditambah lagi dengan hadirnya tiga buah hati kami.

Namun, sebuah musibah dalam keluargaku mulai muncul ketika aku mengenal facebook. Karena jejaring sosial inilah impianku untuk membangun rumah tangga yang utuh berantakan. Aku ya ng sehari-hari hanya sebagai ibu rumah tangga tergoda dengan rayuan laki-laki lain melalui facebook.

Kisah ini bermula pada tahun 2009 ketika aku diperkenalkan oleh suamiku tentang facebook. Saat itu, aku yang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga seakan mendapat hiburan baru. Suamiku pun senang karena melihatku yang tidak lagi jenuh sewaktu mengerjakan pekerjaan rumah dan menjaga anak-anak. Singkat cerita, setelah sebulan mengenal facebook, aku merasa tak ada yang istimewa pada jejaring sosial ini. Namun, setelah mengenal fitur chat (obrolan), aku mulai menikmatinya. Apalagi banyak yang ingin berkenalan denganku, baik itu laki-laki, maupun ibu-ibu. Wajahku memang ayu. Kulitku putih bersih. Saat ini usiaku sekitar 34 tahun. Aku memasang foto profil yang cukup menarik di facebook. Mungkin ini yang membuat banyak orang tertarik untuk berkenalan lebih jauh denganku.

Dari sekian banyak laki-laki yang menyapaku di facebook, ada beberapa lelaki yang mengaku tertarik kepadaku. Walaupun saat itu aku mengatakan bahwa aku sudah punya anak dan suami sehingga sebenarnya mereka tidak pantas untuk menyukaiku.

Awalnya aku bertekad untuk tidak tergoda dengan bujuk rayu sejumlah lelaki di facebook. Namun, setelah aku mengenal Salam (nama samaran), semuanya berubah. Salam adalah salah satu pejabat di perusahaan BUMN di Sulawesi Selatan. Salam benar-benar membuatku terpikat dan mampu menggoyahkan imanku. Bahasanya yang santun, dan caranya ia memberiku perhatian di facebook telah membuat hatiku luluh.

Setiap hari kami berbincang-bincang lewat facebook. Bahkan kami saling bertukar pikiran tentang rumah tangga kami masing-masing. Bisa dibilang kami saling curhat. Dari sinilah perasaan aneh itu muncul, baik dalam diri saya maupun dalam diri Salam. Akhirnya, Salam menyatakan rasa cintanya kepadaku lewat chat dan ingin berjumpa denganku.

Aku yang sejak awal sudah tertarik dengan Salam tak mampu menolaknya. Namun, aku masih malu-malu menyatakan rasa cinta ini kepadanya.

Setelah sekian bulan hanya chatting di facebook, kami pun sepakat untuk bertemu. Kami kemudian melakukan pertemuan di salah satu restoran di Makassar bagian barat. Saat itu Salam datang seorang diri, sementara aku membawa anak bungsuku.

Walaupun aku menyukainya, aku tak ingin pertemuan kami menimbulkan fitnah. Perasaanku deg-degan saat bertemu dengan Salam. Ia pun menyapaku dengan suara berat. Ada perasaan lain yag timbul di dalam hatiku. Di tempat itu, Salam pun kembali menyatakan ketertarikannya kepadaku. Aku pun menyatakan hal yang sama.

Pertemuan dengan Salam di restoran tersebut bukanlah hal yang terakhir. Sejak pertemuan itu, kami pun sering janjian untuk bertemu. Bahkan, kadang, aku bertemu dengan Salam seorang diri tanpa membawa anakku. Kebetulan di rumah aku memiliki seorang pembantu rumah tangga.

Rupanya, inilah awal dari keretakan rumah tanggaku dengan Rudi. Aku sudah mulai jarang di rumah tanpa sepengetahuan Rudi. Maklum, setiap hari Rudi bekerja mulai dari pagi hingga malam.

Sementara aku terkadang selalu bertemu dengan Salam dari siang hingga sore. Salam telah membuka mataku tentang indahnya dunia ini. Ia mengajak aku berjalan-jalan ke mall untukshopping, wisata kuliner, dan mendatangi tempat-tempat hiburan lainnya. Ini semua kulakukan tanpa harus mengeluarkan uang. Aku seakan-akan sudah terjebak dalam kehidupan foya-foya dan gemerlap dunia.

Walaupun aku sering berfoya-foya dengan Salam, sikapku di rumah tetap seperti biasa. Aku tetap melayani suamiku ketika ia baru pulang dari kantor, termasuk mengurus pakaian dan makanannya saat ia akan ke kantor di pagi hari.

Setelah jalan bersama dengan Salam selama dua bulan, aku pun tak mampu menolak ajakan Salam untuk bertemu di hotel. Saat itu Salam sudah membooking salah satu kamar di salah satu hotel berbintang di Makassar.

Kira-kira pada pukul 11.00 malam, aku datang menemuinya di kamar itu. Setelah kami berbincang-bincang selama beberapa menit, aku tak kuasa ketika Salam memeluk tubuhku. Akhirnya, aku pun terjebak, dan rela melakukan hubungan suami istri dengan lelaki yang bukan suamiku sendiri.

Sejak peristiwa itu, kami sering melakukannya, berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel yang lain. Aku pun begitu menikmati kehidupanku ini. Namun, hatiku setiap hari berteriak. Aku tak rela mengkhianati suamiku yang sudah memberiku tiga orang anak. Apalagi ia begitu baik dan begitu mempercayaiku. Ia pun sangat disenangi oleh keluargaku.

Aku ingin lepas dari kehidupan Salam yang harus kuakui telah memberi warna baru dalam hidupku. Ia pun mengaku tulus mencintaiku. Di depanku ia juga mengaku berdosa telah mengkhianati istrinya. Tapi, sama seperti aku, ia tak bisa meninggalkanku.

Hari-hari terus berlalu dan bulan-bulan pun silih berganti, sedangkan kehidupanku tak ada yang berubah. Aku dan Salam masih tetap jalan bersama. Bahkan, aku semakin takut kehilangannya. Namun, peribahasa yang mengatakan, "sepandai- pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga" telah terbukti kepada diriku.

Sepandai-pandainya aku menyembunyikan hubunganku dengan Salam, akhirnya ketahuan juga oleh suamiku. Aku ketahuan selingkuh setelah suamiku membaca SMS Salam yang berisi kata-kata mesra dari Salam. Ia pun memaksa aku untuk mengakuinya. Saat itu aku pun pasrah dan tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi suamiku langsung menghubungi nomor ponsel Salam. Awalnya Salam membantah, dan mengatakan bahwa ia dan diriku hanya berteman.

Namun, setelah diancam oleh suamiku, Salam mengakuinya dan meminta maaf. Namun, suamiku sudah terlanjur sakit. Ia pun langsung menceraikanku. Saat ini aku dan Rudi masih dalam tahap perceraian.

Namun, dalam do'aku setiap selesai shalat, aku bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala, kepada suamiku, kepada anak-anakku dan kepada keluargaku karena aku telah menyia-nyiakan cinta mereka. Aku ikhlas menerima ini semua atas konsekuensi dari perbuatanku sendiri. Namun, aku masih tetap berharap untuk bisa kembali bersama dengan Rudi, dan akan aku buktikan untuk menjadi istri yang baik."

Catatan : Sebenarnya teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia dalam kehidupannya sehari hari, tapi sayangnya, kita sendiri yang menyalahgunakan teknologi tersebut untuk hal-hal yang buruk. Sungguh, salah satu sumber perceraian terbesar di dunia saat ini adalah perselingkuhan via Facebook, Twitter, BBM, dan aplikasi-aplikasi sosial lainnya.

Jadi gunakanlah teknologi dengan bijak, serta hati-hatilah karena setan akan terus menggoda untuk menyesatkan diri kita semua. Gunakanlah jejaring sosial untuk mendapatkan keberkahan silaturahim, mencari ilmu yang bermanfaat, atau untuk berdakwah. Nasihat terutama untuk wanita, janganlah memasang foto yang memperlihatkan aurat sehingga menarik perhatian lawan jenis.

Terima kasih dan mudah mudahan artikel ini bermanfaat untuk kita.

=============================================
DIAMBIL DARI: LAMPU ISLAM BLOG
=============================================

Bismillah. Sebelum mulai membaca kisahnya, perlu saya informasikan kepada pembaca sekalian bahwa kisah yang akan Anda baca ini dicopast bulat-bulat dari blog Ustadz Salim A. Fillah hadahullah.


Mari jadikan kisah berikut ini sebagai pelajaran, untuk tidak bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apapun kondisinya. Bagaimanapun caranya. Terlebih lagi dengan bumbu “ta’aruf syar’i”, “khitbah”, namun tanpa diiringi dengan ilmu yang benar dalam penerapannya?. Syaithan begitu bersemangatnya dalam menggelincirkan manusia. Apabila yang berlabel “aktivis dakwah” saja tergelincir dalam tipu muslihatnya, bagaimana lagi dengan kami yang sekadar berlabel ‘orang awam”?

“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”

Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”

“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“Subhanallah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

================================================DIAMBIL DARI: Islam, Teknik Sipil, dan Kuliner Jogja BLOGDITERUSKAN OLEH: ohmama-ohpapa.blogspot.com

================================================






DEMI MENJAGA KEUTUHAN KELUARGA, KUKORBANKAN HARGA DIRIKU DENGAN MENELAN KHIANAT SUAMIKU BERKALI-KALI DI DEPAN MATAKU




Orang tuaku bercerai ketika aku dan Wisnu, adikku, masih kecil. Usiaku baru 5 tahun saat itu sehingga tak paham apa yang terjadi. Yang kuingat, malam itu Papa dan Mama saling berteriak keras. Papa membanting piring, lalu Mama berlari ke kamar sambil menangis. Esok subuh, Mama pergi meninggalkan aku dan Wisnu. Kami menangis sejadi-jadinya, minta ikut, tapi Mama berlalu begitu saja .Momen ini menyisakan trauma hitam yang terus kubawa. Aku bersumpah tak mau bercerai, apa pun yang terjadi. Aku juga terus mengalah, menerima kekerasan fisik hingga pengkhianatan Tomi, tapi ... layakkah pengorbananku untuk seorang suami seperti dia?

Aku Naya (bukan nama sebenarnya—Red), ibu dari seorang putra berumur 5 tahun. Umurku sekarang 31 tahun, dan tengah berada dalam dilema yang kurasa sulit bagiku untuk menentukan benar-tidaknya sikap yang kuambil ini.

Di tengah kegalauan hatiku, aku membuat keputusan untuk curhat ke Redaksi KARTINI. Mungkin bila ada keluargaku yang membaca, mereka akan merasa sakit, tapi terserahlah. Setelah selesai menulis unek-unek di dada ini, aku merasa sedikit enteng. Sepertinya bongkahan batu yang menyesakkan dadaku terangkat.Benar, kata orang, bicara secara jujur tentang diri kita menjadi obat mujarab mengatasi stres. Inilah Pembaca, kisah hidupku.

LAHIR DI LINGKUNGAN KELUARGA BERCERAI

Dengan bertambahnya usia, aku baru memahami apa yang terjadi. Papa dan Mama bercerai, dilanjutkan dengan kepergian Mama. Kata Tante Ita, adik Mama (bukan nama sebenarnya), setahun setelah bercerai dari Papa, Mama pindah ke luar kota. Di sana ia menikah lagi.

Mendengar itu, aku tak mau mengganggu mereka. Praktis, sejak mendapat kabar tentang mereka dari Tante Ita, aku tak berusaha menghubungi Mama. Begitu pun sebaliknya. Mama tidak berusaha menghubungi aku dan Wisnu. Hubungan kami akhirnya benar-benar terputus.

Demikian waktu berjalan. Di rumah  hanya ada kami berempat—Papa, aku, Wisnu dan Bi Inah, ‘Mbak’ yang merawat dan menggantikan peran Mama untuk kami. Meski suasana di rumah tidak terlalu mesra, tapi harus kuakui, aku cukup beruntung. Setidaknya aku masih punya Papa selalu pulang ke rumah. Daripada yang dialami Tanti, temanku di Sekolah Dasar. Setelah orang tuanya bercerai, ia dititipkan kepada tantenya. Ayah ibunya masing-masing pergi merantau.

Sama persis seperti Ria, sepupuku dari pihak Papa. Orang tuanya bercerai dan mereka menitipkannya pada Oma.
Kalau mau jujur, bila kuurut-urut, sebenarnya banyak sekali kasus perceraian yang terjadi di keluarga Papa dan Mama. Baik famili dari keluarga dekat maupun keluarga besar. Banyak om dan tante yang menikah, lalu pada usia perkawinan tahun kelima atau kesepuluh, terjadi ribut-ribut, lalu bercerai. Bahkan adik bungsu Papa, Tante Wiek, sudah bercerai setelah beberapa bulan merayakan ulang tahun pernikahannya yang pertama.

Harus kuakui, melihat apa yang terjadi di sekeliling, utamanya di keluarga dan famili dekat, hidupku ternyata begitu complicated, ruwet. Tak urung ini menimbulkan kengerian tersendiri bagiku. Kenapa orang menikah kok bercerai? Dan itu juga terjadi pada orang tuaku.Sebagai anak, tentu ini jadi trauma tersendiri.

Tetapi diam-diam aku bersyukur tidak mengalami nasib setragis Tanti atau sepupuku. Aku harus menyayangi Papa, Bi Inah dan Wisnu, karena meski laki-laki, adikku ini lebih lemah dari aku. Jadi aku mesti mengayomi dan melindunginya. Begitulah, meski merupakan keluarga yang ‘pincang’, tapi batinku lumayan tenang.

Ada Papa, sangat cukuplah bagiku. Papa memenuhi semua kebutuhan dan kebaikan untuk kami, terutama yang terkait dengan pendidikan. Katanya, kami harus bersekolah tinggi hingga menjadi sarjana. Dan aku, sebagai perempuan, harus jadi orang yang pintar dan punya karier yang baik. Modal untuk mencapai itu adalah dengan pendidikan. Makanya, ketika aku masuk Taman Kanak-kanak, Papa sudah mengikutkan aku dan Wisnu dalam program asuransi. Ia melunasi premi untuk biaya pendidikan kami sampai ke tingkat perguruan tinggi. Papa mau aku, anak perempuannya, jadi pribadi yang mandiri.

Aku pun tak mau mengecewakan Papa. Waktuku sehari-hari diisi dengan kegiatan belajar, les ini-itu dan kadang bermain games di komputer. Aku tak pernah ke mana-mana, kecuali diajak Bi Inah atau terkadang Papa bila sedang tak sibuk. Begitu terus waktu berjalan. Setahun tak terasa, berlalu tanpa perbedaan yang nyata, hingga suatu hari Papa pulang berdua. Ia mengajak seorang perempuan cantik. Baru kali itu aku bertemu dia.

“Naya dan Wisnu, ke sini Nak. Ini Ibu Linda,” kata Papa, sambil merengkuh kami untuk mendekat dan menyalami perempuan yang kelihatannya baik itu. Usianya di bawah Papa, tapi juga bukan anak baru gede.
“Ibu Linda ini teman baik Papa. Selama ini kita berempat saja dengan Bi Inah.Sepertinya semua baik-baik saja. Tapi jujur sama Papa, terutama kamu, Naya, pasti kamu merasakan ada yang kurang, kan? Dan itu karena selama ini kamu tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Papa mendidik kamu dengan cara seorang ayah. Tapi kamu anak perempuan, dan kamu pasti membutuhkan seorang ibu. Terlebih nanti, akan tiba masanya kamu butuh ibu untuk mendiskusikan hal-hal yang sungkan kamu bicarakan sama Papa.”

Papa menyampaikan rencananya menikahi Ibu Linda.Sekitar dua bulan kemudian perempuan itu resmi menjadi istri Papa, lalu dia tinggal bersama kami. Canggung? Pastinya, karena selama ini orang yang kuanggap ibu adalah Bi Inah.Jadi, aku harus sungguh-sungguh membiasakan diri punya Mama baru.

PAPA MENINGGAL, DRAMA HIDUPKU PUN BERLANJUT

Lima tahun semuanya berjalan lancar dan bahagia.Aku dan adik bersekolah dengan rajin.Tentu, aku bersyukur dan sangat bahagia sekali dengan kondisi keluargaku saat itu.Rasanya hidup jadi begitu sempurna.Namun di tengah kebahagiaan itu, tatkala aku berumur 11 tahun, Papa sakit keras.Kata dokter yang merawat, penyakit tumor otaknya sudah parah dan dia tak bisa bertahan lama. Keberhasilan operasi pun kemungkinan hanya fifty-fifty. Mama Linda mengurus Papa dengan sabar.

Kulihat Papa sudah pasrah dan bisa menerima kenyataan ini. Suatu pagi, kami semua dipanggil Papa ke kamar. Wajahnya pucat sekali. Pipinya tirus dan matanya sayu. Tapi ia berusaha kelihatan kuat. Senyum tipisnya tersungging.

“Naya, Wisnu.... Mama. Waktu Papa sebentar lagi. Papa mau pesan kepada kalian, sepeninggal Papa, kalian harus saling menyayangi.Anak-anak, jaga Mama. Mama tidak punya siapa-siapa lagi kecuali kalian berdua,” kata Papa dengan terbata-bata. Nafasnya lemah, satu-satu.

Tangis Mama Linda memecah.Meski lirih tertahan, tapi begitu menyayat hati. Ia meraih tangan Papa, menciumi dan membawanya ke dada.Perlahan, Papa mengatupkan matanya, lalu menghembuskan nafas terakhir. Papa meninggal dalam damai, diiringi doa kami, istri dan anak-anaknya. Tak berapa lama, keluarga Papa datang.
Mereka seperti terbiasa berada di tengah kami, padahal selama bertahun-tahun sebelumnya, main pun tak pernah.Mereka membereskan rumah, menyiapkan pengurusan jenazah Papa. Wajah mereka murung. Mama Linda membaca doa untuk Papa, begitupun aku dan Wisnu. Praktis, adik-adik Papa yang ke sana-sini sebagai seksi repot.

Pulang dari makam, kami semua kembali ke rumah. Pembaca, babak drama dalam hidupku berlanjut. Drama yang berurai air mata. Papa baru saja dimakamkan, tapi adik-adik Papa, yaitu paman-pamanku sudah memperebutkan hak perwalian dan berusaha mengambil harta peninggalan Papa. Mama Linda kulihat menangis.Ia tak kuasa melawan mereka.

Semua terjadi begitu cepat dan mengguncang jiwaku. Aku tak kuat mendengar suara orang bicara keras. Terlebih aku yang baru berumur 11 tahun dan Wisnu 9 tahun. Akhirnya mereka yang memutuskan segala sesuatu. Mama Linda harus pergi dari rumah Papa. Aku bersama Wisnu tinggal di rumah kakek dan nenek. Rumah Papa mereka yang kuasai. Aku sendiri masih terlalu lemah untuk mencegah semua itu. Tapi, meski masih kecil, aku tahu ada yang tak beres. Kalau tidak, mengapa Mama Linda menangis terus sampai matanya sembab ketika diajak bicara dengan keluarga Papa.

Bi Inah juga mereka pecat. Giliran aku yang menangis sedih, karena dipisah dari Bi Inah yang selama ini mengisi kekosongan batinku dan Wisnu sejak Papa dan Mama kandung kami bercerai. Mereka tak tahu betapa berartinya posisi perempuan Jawa yang berhati lembut itu bagi keluarga kami. Tetapi dengan semena-mena mereka mengatur kami. Mama Linda hanya menerima nasib, mengalah.

SEPERTI MENUMPANG DI RUMAH ORANG LAIN

Kata orang, tinggal bersama kakek-nenek sendiri pasti menyenangkan. Umumnya nenek dan kakek itu mengasihi cucunya melebihi kepada anak sendiri. Tapi apa yang terjadi pada kami?

Aku dan Wisnu tak ubahnya seperti menumpang di rumah orang lain. Kegiatan kami mereka atur dengan ketat. Bila melanggar, mendapat sanksi berupa hukuman fisik seperti dikurung di kamar mandi terkunci dan gelap karena lampunya dipadamkan.Wisnu yang dasarnya lemah itu sering tanpa sengaja melanggar aturan mereka. Alhasil, dia acap kena hukuman. Adikku makin hari makin kurus, karena merasa tertekan. Kesedihan-kesedihan kami terus berlanjut.

Hidupku tak lagi normal seperti anak-anak lainnya. Umurku belum lagi genap 12 tahun, tapi aku sudah harus menjadi ibu bagi Wisnu. Aku yang menghibur hatinya ketika nenek menghukumnya karena terlambat bangun pagi. Atau kali lain, adikku satu-satunya itu disuruh mencabuti rumput di kebun depan sebagai sanksi karena pulang sekolah terlambat. Nenek tidak tahu kalau ban sepeda Wisnu kempes. Ia tidak coba bertanya dulu, tapi langsung main hakim sendiri. Sembunyi-sembunyi aku menghibur Wisnu. Nenek tak boleh tahu. Kalau tidak, pasti aku menanggung hukuman yang sama.

Kalau sudah begitu, kami berdua hanya bisa bertangisan. Di dunia yang luas ini kami tak punya siapa-siapa yang mau menyayangi kami dengan tulus. Kumpul bersama nenek dan kakek kandung tak ubahnya seperti ngenger alias numpang di rumah orang.

Padahal Pembaca, kami juga tidak gratis tinggal di situ. Rumah peninggalan Papa dikuasai mereka, persisnya kedua adik lelaki Papa. Bila dikontrakkan berarti ada uangnya, tapi kami tak pernah dikasih uang jajan. Mobil kami hilang, dan motor pun raib .Dijual mereka semua. Makin lama, harta warisan Papa yang menjadi hak kami anak-anaknya, menguap entah ke mana.

CARI UANG SENDIRI UNTUK BIAYA HIDUP

Syukurlah Papa menyiapkan asuransi pendidikan untuk kami. Kalau tidak, mana mau keluarga Papa menyekolahkan kami? Jadi, meski tak memegang uang sepeser pun, kami tak perlu memikirkan uang sekolah. Dari jenjang ke jenjang pendidikan bisa kami lalui.

Tapi, waktu duduk di bangku SMA, pikiranku kian terbuka dan nyali untuk berontak dari keadaan juga mulai tumbuh. Pikirku, kalau aku menurut saja pada aturan mereka, pasti masa depanku akan berakhir jadi pembantu mereka.

Aku mengatur siasat. Pelan-pelan aku belajar mandiri. Aku senang menggambar, maka aku membuat kartu-kartu ucapan hari raya yang kujual di sekolah atau dekat kios penjual pulsa.A ku juga rajin mengikuti kuis-kuis di radio.Sengaja kubawa radio kecilku ke dekat telepon umum.Begitu ada kuis dan aku bisa menjawabnya, kutelepon mereka dari telepon umum. Dari situ aku dapat uang untuk peganganku sehari-hari. Uang jajan Wisnu juga jadi tanggunganku.

BERTEMU TOMI YANG MENGKHIANATI & MENYIKSAKU

Duduk di kelas 2 SMA aku bertemu Tomi (bukan nama sebenarnya), pria yang akhirnya menjadi suamiku. Pertama mengenalnya, aku lihat dia tidak seperti teman-temanku yang lain di sekolah. Sosoknya begitu bijaksana dan sering membesarkan semangat hidupku.Kami cepat akrab, dan aku seperti jadi ketergantungan, ingin selalu bersamanya.

Begitu aku masuk usia 17 tahun, punya kartu tanda penduduk (KTP), aku merasa jadi manusia dewasa. Punya otorita untuk menentukan arah hidupku, termasuk ketika kemudian jatuh cinta dan memutuskan laki-laki mana yang kupilih jadi suami kunantinya. Kurasa Tomi, kakak kelasku, jadi pilihanku. Aku merasa sreg, dan bersamanya bahagiaku melambung tinggi. Hilang rasa sendiri dan tersisih yang selama ini kurasakan.

Karena itu kupupuk harapanku untuk kelak membangun rumah tangga bahagia bersamanya.Bila aku menikah dengannya berarti aku punya keluarga lagi. Tapi, di sisi lain, jujur, aku merasa gamang dan ngeri juga. Bayang-bayang perceraian yang banyak terjadi di keluarga kami, bahkan orang tuaku sendiri, terkadang menciutkan nyaliku. Aku takut gagal berumah tangga.

Tapi, itu mereka, pikirku.Aku bukan mereka. Kalau mereka gagal berumah tangga, aku tidak mau dan tidak kubiarkan itu terjadi.Ini yang membuat nyaliku kuat lagi, tegar dan bertekad mempertahankan perkawinanku kelak. Aku akhirnya berani meneruskan hubunganku dengan Tomi.Tekad itu pula yang membuatku bertahan selama 7 tahun berpacaran dan akhirnya menikah pada 2003 lalu.

Rentang waktu berpacaran itu bukan masa yang berjalan mulus.Begitu banyak perjuangan yang harus aku lalui. Pasalnya, Tomi bukanlah sosok laki-laki setia. Beberapa kali dia mengkhianati dan melukai perasaanku, tapi beberapa kali itu pula aku memaafkan dan selalu menerimanya kembali. Kejadian khianatnya terakhir dilakukannya sebelum kami menikah. Ia tega mengkhianatiku di depan mata kepalaku sendiri. Ia berpacaran dengan temanku. Tanpa sungkan ia memamerkan kedekatan dan perasaan sayangnya kepada perempuan itu.
“Kenapa kamu ribut? Aku memang lebih menyayangi dia dibandingkan dengan kamu. Apa urusannya denganmu?” Tomi berkata nyinyir, tak punya perasaan.

Terbayang, Pembaca, betapa hancurnya perasaanku. Hal serupa ini juga terjadi di masa-masa sebelumnya, tapi aku terus berjuang menepiskan egoku. Pikirku, dia khilaf. Aku yang harus berjiwa besar menghadapinya. Kesabaran kutambah, kuserahkan segenap jiwa ragaku untuknya. Tapi semua itu sepertinya tak berarti apa-apa baginya.
Setelah pengkhianatan Tomi yang terakhir itu aku sempat memilih untuk mundur dan menerima keinginannya putus. Memang, rasanya berat berdiri sendiri, karena biasanya ada dia meski ia tidak juga banyak membantu. Aku sempat menangis cukup lama. Terlebih hubunganku dengan keluargaku sudah renggang. Aku tak mau ke mereka, karena terlalu banyak keributan terjadi antara aku dengan mereka. Toh hanya menambah  kekecewaan di hatiku.

Aku sendiri lagi. Timbul perasaan negatif yang dulu mengusikku: rasa terabaikan, tersisih dan terpinggirkan. Semua orang seperti tak peduli padaku dan Wisnu.

Beberapa bulan hilang kontak sama sekali dengan Tomi, tiba-tiba dia kembali menghubungiku, mengajak bertemu. Aku, pada dasarnya memang masih cinta, akhirnya menyanggupi permintaannya. Ngobrol ke sana-sini, akhirnya kami kembali menjalin hubungan yang terputus itu. Aku memaafkannya lagi, lalu kami sepakat menikah.
Setelah berumah tangga, sadarkah Tomi untuk menghentikan sifat buruknya yang mata keranjang? Ternyata tidak. Pernikahan tidak menjamin dia sembuh dari kegenitannya dan jadi laki-laki yang setia. Kadang aku selalu bertanya, apa kekuranganku sehingga dia terus saja mengkhianatiku. Aku sudah begitu luar biasa berkorban untuknya. Aku tidak merepotkan dia. Dari segi finansial, aku bekerja selulus dari akademi akuntansi. Aku juga mengalah meski dia kasar dan suka mengintimidasiku dengan menghinaku. Aku terima semua itu dengan sabar dan memaafkannya.

Sekarang aku hanya bisa mencoba mengulik rasa dan logikaku. Apa yang harus kulakukan?Aku ingin mempertahankan rumah tangga yang telah disemarakkan dengan kehadiran buah hati kami. Bukan aku tak bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik bersama orang lain, tapi lagi-lagi aku tak mau menyerah seperti keluarga atau orang tuaku dengan mengakhiri perkawinan dengan perceraian. Pikirku sudah banyak pengorbananku selama ini, jadi tak boleh semua menjadi sia-sia jika aku menyerah.

Aku tak menampik juga kalau dikatakan bahwa aku begitu mencintai Tomi. Sangat besar cintaku sehingga aku tak peduli dengan rasa sakit yang ada. Tapi, benarkah sikap yang kuambil ini? Aku tahu hubungan kami timpang dan tidak sehat. Bila dibiarkan dalam kondisi status quo, apa yang akan terjadi pada kami? Baikkah efeknya kepada perkembangan jiwa anak kami? Aku hanya bisa pasrah. Pembaca, mohon doanya untukku.

(*)

GYS
Nama lengkap dan fotokopi KTP
ada pada Redaksi Kartini

QUOTE:
Harus kuakui, hidupku begitu complicated, ruwet. Tak urung ini menimbulkan kengerian tersendiri bagiku. Kenapa orang menikah kok bercerai? Dan itu juga terjadi pada orang tuaku. Sebagai anak, tentu ini jadi trauma tersendiri.
Tapi, benarkah sikap yang kuambil ini? Aku tahu hubungan kami timpang dan tidak sehat. Bila dibiarkan dalam kondisi status quo, baikkah efeknya kepada perkembangan jiwa anak kami? Aku hanya bisa pasrah.


=============================================
DIAMBIL DARI: FB MAJALAH KARTINI
DITERUSKAN OLEH: ohmama-ohpapa.blogspot.com
=============================================