KISAH NYATA: PERCERAIAN DIDEPAN MATAKU

DEMI MENJAGA KEUTUHAN KELUARGA, KUKORBANKAN HARGA DIRIKU DENGAN MENELAN KHIANAT SUAMIKU BERKALI-KALI DI DEPAN MATAKU




Orang tuaku bercerai ketika aku dan Wisnu, adikku, masih kecil. Usiaku baru 5 tahun saat itu sehingga tak paham apa yang terjadi. Yang kuingat, malam itu Papa dan Mama saling berteriak keras. Papa membanting piring, lalu Mama berlari ke kamar sambil menangis. Esok subuh, Mama pergi meninggalkan aku dan Wisnu. Kami menangis sejadi-jadinya, minta ikut, tapi Mama berlalu begitu saja .Momen ini menyisakan trauma hitam yang terus kubawa. Aku bersumpah tak mau bercerai, apa pun yang terjadi. Aku juga terus mengalah, menerima kekerasan fisik hingga pengkhianatan Tomi, tapi ... layakkah pengorbananku untuk seorang suami seperti dia?

Aku Naya (bukan nama sebenarnya—Red), ibu dari seorang putra berumur 5 tahun. Umurku sekarang 31 tahun, dan tengah berada dalam dilema yang kurasa sulit bagiku untuk menentukan benar-tidaknya sikap yang kuambil ini.

Di tengah kegalauan hatiku, aku membuat keputusan untuk curhat ke Redaksi KARTINI. Mungkin bila ada keluargaku yang membaca, mereka akan merasa sakit, tapi terserahlah. Setelah selesai menulis unek-unek di dada ini, aku merasa sedikit enteng. Sepertinya bongkahan batu yang menyesakkan dadaku terangkat.Benar, kata orang, bicara secara jujur tentang diri kita menjadi obat mujarab mengatasi stres. Inilah Pembaca, kisah hidupku.

LAHIR DI LINGKUNGAN KELUARGA BERCERAI

Dengan bertambahnya usia, aku baru memahami apa yang terjadi. Papa dan Mama bercerai, dilanjutkan dengan kepergian Mama. Kata Tante Ita, adik Mama (bukan nama sebenarnya), setahun setelah bercerai dari Papa, Mama pindah ke luar kota. Di sana ia menikah lagi.

Mendengar itu, aku tak mau mengganggu mereka. Praktis, sejak mendapat kabar tentang mereka dari Tante Ita, aku tak berusaha menghubungi Mama. Begitu pun sebaliknya. Mama tidak berusaha menghubungi aku dan Wisnu. Hubungan kami akhirnya benar-benar terputus.

Demikian waktu berjalan. Di rumah  hanya ada kami berempat—Papa, aku, Wisnu dan Bi Inah, ‘Mbak’ yang merawat dan menggantikan peran Mama untuk kami. Meski suasana di rumah tidak terlalu mesra, tapi harus kuakui, aku cukup beruntung. Setidaknya aku masih punya Papa selalu pulang ke rumah. Daripada yang dialami Tanti, temanku di Sekolah Dasar. Setelah orang tuanya bercerai, ia dititipkan kepada tantenya. Ayah ibunya masing-masing pergi merantau.

Sama persis seperti Ria, sepupuku dari pihak Papa. Orang tuanya bercerai dan mereka menitipkannya pada Oma.
Kalau mau jujur, bila kuurut-urut, sebenarnya banyak sekali kasus perceraian yang terjadi di keluarga Papa dan Mama. Baik famili dari keluarga dekat maupun keluarga besar. Banyak om dan tante yang menikah, lalu pada usia perkawinan tahun kelima atau kesepuluh, terjadi ribut-ribut, lalu bercerai. Bahkan adik bungsu Papa, Tante Wiek, sudah bercerai setelah beberapa bulan merayakan ulang tahun pernikahannya yang pertama.

Harus kuakui, melihat apa yang terjadi di sekeliling, utamanya di keluarga dan famili dekat, hidupku ternyata begitu complicated, ruwet. Tak urung ini menimbulkan kengerian tersendiri bagiku. Kenapa orang menikah kok bercerai? Dan itu juga terjadi pada orang tuaku.Sebagai anak, tentu ini jadi trauma tersendiri.

Tetapi diam-diam aku bersyukur tidak mengalami nasib setragis Tanti atau sepupuku. Aku harus menyayangi Papa, Bi Inah dan Wisnu, karena meski laki-laki, adikku ini lebih lemah dari aku. Jadi aku mesti mengayomi dan melindunginya. Begitulah, meski merupakan keluarga yang ‘pincang’, tapi batinku lumayan tenang.

Ada Papa, sangat cukuplah bagiku. Papa memenuhi semua kebutuhan dan kebaikan untuk kami, terutama yang terkait dengan pendidikan. Katanya, kami harus bersekolah tinggi hingga menjadi sarjana. Dan aku, sebagai perempuan, harus jadi orang yang pintar dan punya karier yang baik. Modal untuk mencapai itu adalah dengan pendidikan. Makanya, ketika aku masuk Taman Kanak-kanak, Papa sudah mengikutkan aku dan Wisnu dalam program asuransi. Ia melunasi premi untuk biaya pendidikan kami sampai ke tingkat perguruan tinggi. Papa mau aku, anak perempuannya, jadi pribadi yang mandiri.

Aku pun tak mau mengecewakan Papa. Waktuku sehari-hari diisi dengan kegiatan belajar, les ini-itu dan kadang bermain games di komputer. Aku tak pernah ke mana-mana, kecuali diajak Bi Inah atau terkadang Papa bila sedang tak sibuk. Begitu terus waktu berjalan. Setahun tak terasa, berlalu tanpa perbedaan yang nyata, hingga suatu hari Papa pulang berdua. Ia mengajak seorang perempuan cantik. Baru kali itu aku bertemu dia.

“Naya dan Wisnu, ke sini Nak. Ini Ibu Linda,” kata Papa, sambil merengkuh kami untuk mendekat dan menyalami perempuan yang kelihatannya baik itu. Usianya di bawah Papa, tapi juga bukan anak baru gede.
“Ibu Linda ini teman baik Papa. Selama ini kita berempat saja dengan Bi Inah.Sepertinya semua baik-baik saja. Tapi jujur sama Papa, terutama kamu, Naya, pasti kamu merasakan ada yang kurang, kan? Dan itu karena selama ini kamu tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Papa mendidik kamu dengan cara seorang ayah. Tapi kamu anak perempuan, dan kamu pasti membutuhkan seorang ibu. Terlebih nanti, akan tiba masanya kamu butuh ibu untuk mendiskusikan hal-hal yang sungkan kamu bicarakan sama Papa.”

Papa menyampaikan rencananya menikahi Ibu Linda.Sekitar dua bulan kemudian perempuan itu resmi menjadi istri Papa, lalu dia tinggal bersama kami. Canggung? Pastinya, karena selama ini orang yang kuanggap ibu adalah Bi Inah.Jadi, aku harus sungguh-sungguh membiasakan diri punya Mama baru.

PAPA MENINGGAL, DRAMA HIDUPKU PUN BERLANJUT

Lima tahun semuanya berjalan lancar dan bahagia.Aku dan adik bersekolah dengan rajin.Tentu, aku bersyukur dan sangat bahagia sekali dengan kondisi keluargaku saat itu.Rasanya hidup jadi begitu sempurna.Namun di tengah kebahagiaan itu, tatkala aku berumur 11 tahun, Papa sakit keras.Kata dokter yang merawat, penyakit tumor otaknya sudah parah dan dia tak bisa bertahan lama. Keberhasilan operasi pun kemungkinan hanya fifty-fifty. Mama Linda mengurus Papa dengan sabar.

Kulihat Papa sudah pasrah dan bisa menerima kenyataan ini. Suatu pagi, kami semua dipanggil Papa ke kamar. Wajahnya pucat sekali. Pipinya tirus dan matanya sayu. Tapi ia berusaha kelihatan kuat. Senyum tipisnya tersungging.

“Naya, Wisnu.... Mama. Waktu Papa sebentar lagi. Papa mau pesan kepada kalian, sepeninggal Papa, kalian harus saling menyayangi.Anak-anak, jaga Mama. Mama tidak punya siapa-siapa lagi kecuali kalian berdua,” kata Papa dengan terbata-bata. Nafasnya lemah, satu-satu.

Tangis Mama Linda memecah.Meski lirih tertahan, tapi begitu menyayat hati. Ia meraih tangan Papa, menciumi dan membawanya ke dada.Perlahan, Papa mengatupkan matanya, lalu menghembuskan nafas terakhir. Papa meninggal dalam damai, diiringi doa kami, istri dan anak-anaknya. Tak berapa lama, keluarga Papa datang.
Mereka seperti terbiasa berada di tengah kami, padahal selama bertahun-tahun sebelumnya, main pun tak pernah.Mereka membereskan rumah, menyiapkan pengurusan jenazah Papa. Wajah mereka murung. Mama Linda membaca doa untuk Papa, begitupun aku dan Wisnu. Praktis, adik-adik Papa yang ke sana-sini sebagai seksi repot.

Pulang dari makam, kami semua kembali ke rumah. Pembaca, babak drama dalam hidupku berlanjut. Drama yang berurai air mata. Papa baru saja dimakamkan, tapi adik-adik Papa, yaitu paman-pamanku sudah memperebutkan hak perwalian dan berusaha mengambil harta peninggalan Papa. Mama Linda kulihat menangis.Ia tak kuasa melawan mereka.

Semua terjadi begitu cepat dan mengguncang jiwaku. Aku tak kuat mendengar suara orang bicara keras. Terlebih aku yang baru berumur 11 tahun dan Wisnu 9 tahun. Akhirnya mereka yang memutuskan segala sesuatu. Mama Linda harus pergi dari rumah Papa. Aku bersama Wisnu tinggal di rumah kakek dan nenek. Rumah Papa mereka yang kuasai. Aku sendiri masih terlalu lemah untuk mencegah semua itu. Tapi, meski masih kecil, aku tahu ada yang tak beres. Kalau tidak, mengapa Mama Linda menangis terus sampai matanya sembab ketika diajak bicara dengan keluarga Papa.

Bi Inah juga mereka pecat. Giliran aku yang menangis sedih, karena dipisah dari Bi Inah yang selama ini mengisi kekosongan batinku dan Wisnu sejak Papa dan Mama kandung kami bercerai. Mereka tak tahu betapa berartinya posisi perempuan Jawa yang berhati lembut itu bagi keluarga kami. Tetapi dengan semena-mena mereka mengatur kami. Mama Linda hanya menerima nasib, mengalah.

SEPERTI MENUMPANG DI RUMAH ORANG LAIN

Kata orang, tinggal bersama kakek-nenek sendiri pasti menyenangkan. Umumnya nenek dan kakek itu mengasihi cucunya melebihi kepada anak sendiri. Tapi apa yang terjadi pada kami?

Aku dan Wisnu tak ubahnya seperti menumpang di rumah orang lain. Kegiatan kami mereka atur dengan ketat. Bila melanggar, mendapat sanksi berupa hukuman fisik seperti dikurung di kamar mandi terkunci dan gelap karena lampunya dipadamkan.Wisnu yang dasarnya lemah itu sering tanpa sengaja melanggar aturan mereka. Alhasil, dia acap kena hukuman. Adikku makin hari makin kurus, karena merasa tertekan. Kesedihan-kesedihan kami terus berlanjut.

Hidupku tak lagi normal seperti anak-anak lainnya. Umurku belum lagi genap 12 tahun, tapi aku sudah harus menjadi ibu bagi Wisnu. Aku yang menghibur hatinya ketika nenek menghukumnya karena terlambat bangun pagi. Atau kali lain, adikku satu-satunya itu disuruh mencabuti rumput di kebun depan sebagai sanksi karena pulang sekolah terlambat. Nenek tidak tahu kalau ban sepeda Wisnu kempes. Ia tidak coba bertanya dulu, tapi langsung main hakim sendiri. Sembunyi-sembunyi aku menghibur Wisnu. Nenek tak boleh tahu. Kalau tidak, pasti aku menanggung hukuman yang sama.

Kalau sudah begitu, kami berdua hanya bisa bertangisan. Di dunia yang luas ini kami tak punya siapa-siapa yang mau menyayangi kami dengan tulus. Kumpul bersama nenek dan kakek kandung tak ubahnya seperti ngenger alias numpang di rumah orang.

Padahal Pembaca, kami juga tidak gratis tinggal di situ. Rumah peninggalan Papa dikuasai mereka, persisnya kedua adik lelaki Papa. Bila dikontrakkan berarti ada uangnya, tapi kami tak pernah dikasih uang jajan. Mobil kami hilang, dan motor pun raib .Dijual mereka semua. Makin lama, harta warisan Papa yang menjadi hak kami anak-anaknya, menguap entah ke mana.

CARI UANG SENDIRI UNTUK BIAYA HIDUP

Syukurlah Papa menyiapkan asuransi pendidikan untuk kami. Kalau tidak, mana mau keluarga Papa menyekolahkan kami? Jadi, meski tak memegang uang sepeser pun, kami tak perlu memikirkan uang sekolah. Dari jenjang ke jenjang pendidikan bisa kami lalui.

Tapi, waktu duduk di bangku SMA, pikiranku kian terbuka dan nyali untuk berontak dari keadaan juga mulai tumbuh. Pikirku, kalau aku menurut saja pada aturan mereka, pasti masa depanku akan berakhir jadi pembantu mereka.

Aku mengatur siasat. Pelan-pelan aku belajar mandiri. Aku senang menggambar, maka aku membuat kartu-kartu ucapan hari raya yang kujual di sekolah atau dekat kios penjual pulsa.A ku juga rajin mengikuti kuis-kuis di radio.Sengaja kubawa radio kecilku ke dekat telepon umum.Begitu ada kuis dan aku bisa menjawabnya, kutelepon mereka dari telepon umum. Dari situ aku dapat uang untuk peganganku sehari-hari. Uang jajan Wisnu juga jadi tanggunganku.

BERTEMU TOMI YANG MENGKHIANATI & MENYIKSAKU

Duduk di kelas 2 SMA aku bertemu Tomi (bukan nama sebenarnya), pria yang akhirnya menjadi suamiku. Pertama mengenalnya, aku lihat dia tidak seperti teman-temanku yang lain di sekolah. Sosoknya begitu bijaksana dan sering membesarkan semangat hidupku.Kami cepat akrab, dan aku seperti jadi ketergantungan, ingin selalu bersamanya.

Begitu aku masuk usia 17 tahun, punya kartu tanda penduduk (KTP), aku merasa jadi manusia dewasa. Punya otorita untuk menentukan arah hidupku, termasuk ketika kemudian jatuh cinta dan memutuskan laki-laki mana yang kupilih jadi suami kunantinya. Kurasa Tomi, kakak kelasku, jadi pilihanku. Aku merasa sreg, dan bersamanya bahagiaku melambung tinggi. Hilang rasa sendiri dan tersisih yang selama ini kurasakan.

Karena itu kupupuk harapanku untuk kelak membangun rumah tangga bahagia bersamanya.Bila aku menikah dengannya berarti aku punya keluarga lagi. Tapi, di sisi lain, jujur, aku merasa gamang dan ngeri juga. Bayang-bayang perceraian yang banyak terjadi di keluarga kami, bahkan orang tuaku sendiri, terkadang menciutkan nyaliku. Aku takut gagal berumah tangga.

Tapi, itu mereka, pikirku.Aku bukan mereka. Kalau mereka gagal berumah tangga, aku tidak mau dan tidak kubiarkan itu terjadi.Ini yang membuat nyaliku kuat lagi, tegar dan bertekad mempertahankan perkawinanku kelak. Aku akhirnya berani meneruskan hubunganku dengan Tomi.Tekad itu pula yang membuatku bertahan selama 7 tahun berpacaran dan akhirnya menikah pada 2003 lalu.

Rentang waktu berpacaran itu bukan masa yang berjalan mulus.Begitu banyak perjuangan yang harus aku lalui. Pasalnya, Tomi bukanlah sosok laki-laki setia. Beberapa kali dia mengkhianati dan melukai perasaanku, tapi beberapa kali itu pula aku memaafkan dan selalu menerimanya kembali. Kejadian khianatnya terakhir dilakukannya sebelum kami menikah. Ia tega mengkhianatiku di depan mata kepalaku sendiri. Ia berpacaran dengan temanku. Tanpa sungkan ia memamerkan kedekatan dan perasaan sayangnya kepada perempuan itu.
“Kenapa kamu ribut? Aku memang lebih menyayangi dia dibandingkan dengan kamu. Apa urusannya denganmu?” Tomi berkata nyinyir, tak punya perasaan.

Terbayang, Pembaca, betapa hancurnya perasaanku. Hal serupa ini juga terjadi di masa-masa sebelumnya, tapi aku terus berjuang menepiskan egoku. Pikirku, dia khilaf. Aku yang harus berjiwa besar menghadapinya. Kesabaran kutambah, kuserahkan segenap jiwa ragaku untuknya. Tapi semua itu sepertinya tak berarti apa-apa baginya.
Setelah pengkhianatan Tomi yang terakhir itu aku sempat memilih untuk mundur dan menerima keinginannya putus. Memang, rasanya berat berdiri sendiri, karena biasanya ada dia meski ia tidak juga banyak membantu. Aku sempat menangis cukup lama. Terlebih hubunganku dengan keluargaku sudah renggang. Aku tak mau ke mereka, karena terlalu banyak keributan terjadi antara aku dengan mereka. Toh hanya menambah  kekecewaan di hatiku.

Aku sendiri lagi. Timbul perasaan negatif yang dulu mengusikku: rasa terabaikan, tersisih dan terpinggirkan. Semua orang seperti tak peduli padaku dan Wisnu.

Beberapa bulan hilang kontak sama sekali dengan Tomi, tiba-tiba dia kembali menghubungiku, mengajak bertemu. Aku, pada dasarnya memang masih cinta, akhirnya menyanggupi permintaannya. Ngobrol ke sana-sini, akhirnya kami kembali menjalin hubungan yang terputus itu. Aku memaafkannya lagi, lalu kami sepakat menikah.
Setelah berumah tangga, sadarkah Tomi untuk menghentikan sifat buruknya yang mata keranjang? Ternyata tidak. Pernikahan tidak menjamin dia sembuh dari kegenitannya dan jadi laki-laki yang setia. Kadang aku selalu bertanya, apa kekuranganku sehingga dia terus saja mengkhianatiku. Aku sudah begitu luar biasa berkorban untuknya. Aku tidak merepotkan dia. Dari segi finansial, aku bekerja selulus dari akademi akuntansi. Aku juga mengalah meski dia kasar dan suka mengintimidasiku dengan menghinaku. Aku terima semua itu dengan sabar dan memaafkannya.

Sekarang aku hanya bisa mencoba mengulik rasa dan logikaku. Apa yang harus kulakukan?Aku ingin mempertahankan rumah tangga yang telah disemarakkan dengan kehadiran buah hati kami. Bukan aku tak bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik bersama orang lain, tapi lagi-lagi aku tak mau menyerah seperti keluarga atau orang tuaku dengan mengakhiri perkawinan dengan perceraian. Pikirku sudah banyak pengorbananku selama ini, jadi tak boleh semua menjadi sia-sia jika aku menyerah.

Aku tak menampik juga kalau dikatakan bahwa aku begitu mencintai Tomi. Sangat besar cintaku sehingga aku tak peduli dengan rasa sakit yang ada. Tapi, benarkah sikap yang kuambil ini? Aku tahu hubungan kami timpang dan tidak sehat. Bila dibiarkan dalam kondisi status quo, apa yang akan terjadi pada kami? Baikkah efeknya kepada perkembangan jiwa anak kami? Aku hanya bisa pasrah. Pembaca, mohon doanya untukku.

(*)

GYS
Nama lengkap dan fotokopi KTP
ada pada Redaksi Kartini

QUOTE:
Harus kuakui, hidupku begitu complicated, ruwet. Tak urung ini menimbulkan kengerian tersendiri bagiku. Kenapa orang menikah kok bercerai? Dan itu juga terjadi pada orang tuaku. Sebagai anak, tentu ini jadi trauma tersendiri.
Tapi, benarkah sikap yang kuambil ini? Aku tahu hubungan kami timpang dan tidak sehat. Bila dibiarkan dalam kondisi status quo, baikkah efeknya kepada perkembangan jiwa anak kami? Aku hanya bisa pasrah.


=============================================
DIAMBIL DARI: FB MAJALAH KARTINI
DITERUSKAN OLEH: ohmama-ohpapa.blogspot.com
=============================================

0 komentar: